Ragam Suasana Berlebaran di Negeri Sakura

Anita D Prameswari
2 min readJun 15, 2020

--

Tanggal 1 bulan Syawal tiap tahunnya selalu menjadi momen penting bagi masyarakat Muslim di seluruh dunia. Pada hari itu, umat Islam akan merayakan kemenangan mereka setelah berpuasa selama satu bulan saat Ramadhan. Setiap komunitas Muslim di masing-masing negara tentu memiliki cara tersendiri untuk memperingati hari tersebut, tidak terkecuali mereka yang tinggal di salah satu negeri Asia Timur ini. Cerita berikut akan dituturkan oleh dua orang asal Indonesia yang bermukim di Jepang dan mengalami perbedaan rasa soal Idul Fitri. Sebelum mengulas lebih lanjut bagaimana pengalaman keduanya, ada baiknya kita sedikit mengulik seperti apa keadaan religi di Negeri Matahari Terbit.

Prolog: Agama, Kepercayaan dan Islam di Jepang

Kebudayaannya yang kental adalah karakter yang paling menonjol dari masyarakat Negeri Sakura. Tidak hanya soal bahasa, seni atau makanan — persoalan religi warga Jepang rupanya merupakan topik yang sangat menarik walau tidak terlalu sering diulas.

Secara umum, masyarakat Jepang bukanlah komunitas yang mengedepankan nilai agama secara eksplisit. Apabila kalian menyisir tiap tanggal dan bulan dalam kalender nasional Jepang, mereka tidak pernah menanggalmerahkan hari besar agama apapun. Hari libur justru datang dari perayaan atas kegiatan lain, seperti ulang tahun kaisar Showa (29 April) atau festival anak perempuan (3 Maret) dan laki-laki (5 Mei).

Opini bahwa masyarakat Jepang tidak ambil pusing perihal kepercayaan juga dicerminkan melalui dua grafik di samping. Banyak masyarakat Jepang yang walaupun berpegang pada kepercayaan tertentu — merasa tidak religius atau teguh pada agama yang dianutnya. Jawaban tersebut juga berbanding lurus dengan hasil survei yang menunjukan tidak pentingnya agama di mata masyarakat Jepang.

Sebuah ungkapan menyebut, sesungguhnya dari pada beragama, masyarakat Jepang lebih cocok disebut komunitas yang percaya akan hal-hal spiritual. Banyak dari mereka yang tidak memeluk agama/kepercayaan tertentu, namun mereka mengunjungi kuil di tahun baru, membuat jimat keberuntungan, dan mendoakan mereka yang meninggal dunia. Ritual-ritual itu tetap dijalani oleh masyarakat Jepang terlepas dari kepercayaan apa yang dianutnya.

Lantas, seperti apa keadaan religi pada masyarakat Jepang?

Agama Buddha dan aliran kepercayaan Shinto sudah menjadi cerita lama untuk menggambarkan kondisi religi warga Jepang pada umumnya. Keduanya telah mendominasi karena memang masuk terlebih dahulu dibanding agama yang lain. Berkaca dari diagram di atas, populasi masyarakat Muslim yang ada di Jepang tidak sampai satu persen dari total populasi seluruh penduduk Jepang — walau ia sedikit lebih banyak dari agama baru yang lain seperti Yahudi dan Hindu. Menurut Tanda Hirofumi, Profesor Fakultas Humaniora Universitas Waseda, banyak dari komunitas Muslim di Jepang yang berasal dari luar negeri dan tinggal di area metropolitan seperti Tokyo, Chukyo dan wilayah Kinki.

Apabila kemudian angka tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam, tentu saja kalah. Maka dari itu, tidak heran terdapat perbedaan gaya dalam merayakan hari besar agama — dalam hal ini Idul Fitri — di Jepang, seperti yang dialami dua kawan asal Indonesia ini. Cerita mereka akan diulas dalam dua siaran berbeda, di bawah ini.

Satu: Avanti dan Lebaran yang Sepi

Dua: Kali Pertama Irsyad Lebaran Tanpa Keluarga

Cerita oleh: Anita D. Prameswari

--

--

Anita D Prameswari
Anita D Prameswari

Written by Anita D Prameswari

I'm writing for academic purposes. Hope you enjoy my stories!

No responses yet